BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah menciptakan manusia di muka bumi
ini bertujuan untuk menjadikannya sebagai khalifah agar mengurusi persoalan
kehidupan di dunia. Oleh karenanya bersamaan dengan hal itu Allah SWT
menciptakan manusia dengan berpasang-pasangan, dan menghasilkan keturunan yang
banyak, sehingga merekalah yang nantinya akan hidup di muka bumi ini sebagai
manusia-manusia yang mewarisi tugas untuk mengemban amanah tersebut.
Sudah menjadi fitrah manusia
berkeinginan untuk memiliki keturunan pada saat setelah berlangsungnya
pernikahan. Akan tetapi, masih banyak dari kalangan suami-istri yang menjumpai
hambatan untuk memperoleh keturunan. Sehingga ada beberapa diantara mereka yang
tidak dapat menghasilkan keturunan kemudian mengangkat seseorang untuk
dijadikannya sebagai anak.
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan
dan teknologi, cara untuk memperoleh anak pun dengan mudah didapatkan dengan
memanfaat teknologi yang telah berkembang di era globalisasi ini, maka
ditempuhlah dengan jalan menggunakan bayi tabung dan dengan cara sewa rahim
atau rental rahim atau surrogate mother.
Di Indonesia tentunya sudah tidak lazim
lagi mendengar kata bayi tabung, bahkan prakteknya sudah dilakukan secara
terbuka dan telah dilegalkan oleh pemerintah. Sedangkan untuk surrogate mother
itu sendiri masih kita dapatkan pro dan kontra mengenai tata cara dan praktek
dalam penggunannya.
B.
Rumusan Masalah
Bagaimana Pandangan hukum Islam tentang Surrogate Mother
di Indonesia?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk
mengetahui pandangan hukum positif di Indonesia tentang Surrogate Mother.
2. Untuk
mengetahui pandangan hukum islam tentang Surrogate Mother.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Surrogate
Mother
1.
Pengertian Surrogate Mother
Menurut istilah traditional surrogacy, ibu sewa mengandung anaknya sendiri secara
biologis, namun anak ini setelah lahir akan diberikan pada orang tua lain
yang akan mengangkatnya sebagai anak; baik oleh ayah biologisnya sendiri,
dan mungkin untuk mitranya (mitra ayah biologisnya), baik wanita maupun pria. Menurut
istilah gestational surrogacy, ibu sewa mengandung lewat
transfer embrio dimana ia berarti bukan ibu si anak secara biologis. Ibu
sewa tersebut bisa membuat kesepakatan dengan ibu atau ayah biologisnya untuk
mengangkat anak yang akan dilahirkannya sebagai anak mereka sendiri, atau
dengan orang tua (pasangan suami istri) yang bahkan tidak memiliki
hubungan apa-apa dengan si anak (misalnya, anak ini dikandung dengan cara
transfer embrio yang diambil dari donor benih dan atau donor sperma).
Menurut istilah altruistic surrogacy, ibu sewa
tidak menerima bayaran atas kehamilannya atau atas anak yang akan diserahkannya
(namun terkadang untuk biaya medis selama masa hamil dan melahirkan ditanggung
oleh calon orang tua yang akan mengasuh si bayi). Sedangkan commercial
surrogacy sebaliknya, dimana si ibu sewa mendapatkan bayaran uang atas
kehamilan dan atas anak yang akan ia serahkan pada orang tua angkatnya.
Kata surrogate berasal dari
bahasa latin subrogare (yang artinya menggantikan), yang berarti wanita
yang ditunjuk untuk bertindak sebagai ibu
pengganti atau ibu sewa. Para orang tua angkat (yang menunjuk ibu sewa) adalah
individu atau orang-orang yang akan membesarkan anak tersebut setelah
dilahirkan. Ada kecenderungan sekarang ini untuk membatasi istilah
‘surrogacy’ hanya berarti “gestational surrogacy ”.
Di dalam bahasa Arab, sewa rahim dikenal dengan berbagai
macam istilah di antaranya: al-‘ummu al-musta’jir, al-ummu
al-badilah, al-musta’jir, al-hadlanah, syatlul
janin, al-ummu al-kazibah, ar-rahmu al-musta’ar,
atau ta’jirul arham. Tetapi sewa rahim lebih dikenal dengan
istilah ar-rahmu al-musta’jir atau al-‘ummu al-badilah.
Sedangkan di dalam bahasa Inggris, sewa rahim dikenal dengan istilah surrogate
mother.
Menurut Ali ‘Arif, di dalam bukunya al-’Ummu
al-Badlilah (ar-Rahmu al-Musta’jirah) sebagaimana dikutip oleh
Radin Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi, sewa rahim adalah menggunakan rahim
wanita lain untuk mengandungkan benih wanita (ovum) yang telah
dibuahi dengan benih laki-laki (sperma), dan janin itu
dikandung oleh wanita tersebut hingga lahir. Kemudian anak
itu diberikan kembali kepada pasangan suami isteri tersebut untuk memeliharanya
dan anak itu dianggap anak mereka dari sudut undang-undang.
Yahya Abdurrahman al-Khatib mendefinisikan sewa rahim adalah
dua orang suami isteri yang membuat kesepakatan bersama wanita lain untuk
menanamkan sel telur yang telah diinseminasi (dibuahi) dari wanita pertama
dengan sperma suaminya pada rahim wanita kedua dengan upah yang telah
disepakatinya. Selanjutnya, wanita kedua ini disebut :
a.
Al-’ummu al-musta‘ar (ibu pinjaman), yaitu wanita
yang di dalam rahimnya dimasukkan sel telur yang telah diinseminasi (dibuahi).
Ia juga disebut dengan mu’jirah al-bathni (wanita yang
menyewakan perutnya).
b.
Ar-rahim az-zi’r. Secara etimologis az-zi’r adalah
wanita yang belas kasih kepada anak orang lain dan yang menyusuinya,
sama saja dari manusia atau unta. Sedangkan bentuk jamaknya adalah az’ur, az’ar dan zu’ur.
Yang dimaksud dengan ar-rahim az-zi’r di sini adalah bahwa sel
telur itu diambil dari seorang wanita, sedang rahim yang mengandung
dan yang melahirkan adalah wanita lain.
c.
Syatlu al-janin (penanaman janin), yaitu seorang suami mencampuri
isterinya yang tidak layak hamil, kemudian
sperma itu dipindahkan dari isterinya ke dalam rahim wanita lain yang mempunyai
suami melalui metode kedokteran. Selanjutnya wanita inilah yang
mengandungnya hingga melahirkan.
d.
Al-mudl’ifah (wanita pelayan), yaitu wanita lain dimana sel telur
(ovum) yang telah diinseminasi (dibuahi) dipindahkan ke dalam rahimnya. Ia juga
disebut dengan ummu bi al-wakalah (ibu perwakilan).
Sedangkan Said Agil Husin al-Munawar mendefinisikan sewa
rahim adalah penitipan sperma dan ovum dari sepasang suami isteri ke dalam
rahim wanita lain. Penyewaan rahim biasanya melalui perjanjian atau persyaratan
tertentu dari kedua belah pihak, baik perjanjian tersebut berdasarkan rela sama
rela (gratis), atau perjanjian itu berupa kontrak.
Dari beberapa pengertian yang disebutkan di atas, dapat
disimpulkan bahwa ada beberapa variabel suatu kasus bisa dikualifikasi
sebagai praktek sewa rahim yaitu:
a. Menjadikan rahim wanita lain
(selain isteri) sebagai tempat untuk menitipkan atau membuahkan sperma
dan ovum baik melalui teknik Fertilisasi in Vitro (FIV) maupun melalui teknik TandurAlih GametIntraTuba (TAGIT)dan
janin itu dikandung oleh wanita tersebut hingga lahir.
b. Penyewaan Rahim biasanya dilakukan
melalui perjanjian atau persyaratan tertentu dari kedua belah pihak, baik
perjanjian tersebut berdasarkan rela sama rela (gratis), atau perjanjian
itu berupa kontrak.
c. Anak yang dihasilkan dari sewa rahim
ini biasanya diserahkan kembali pada orang atau pasangan yang memesannya, dan anak
itu dianggap anak mereka dari sudut Undang-Undang.
d. Ibu sewa mendapatkan bayaran uang
atas kehamilan dan atas anak yang akan ia serahkan pada orang atau pasangan
yang memesannya.
Surrogate mother adalah
perjanjian antara seorang wanita yang mengikatkan diri melalui suatu perjanjian
dengan pihak lain (suami-isteri) untuk menjadi hamil terhadap hasil pembuahan
suami isteri tersebut yang ditanamkan ke dalam rahimnya, dan setelah melahirkan
diharuskan menyerahkan bayi tersebut kepada pihak suami isteri berdasarkan
perjanjian yang dibuat.
Perjanjian ini lazim disebut gestational agreement. Intinya, surrogate mother adalah perempuan
yang menampung pembuahan suami isteri dan diharapkan melahirkan anak hasil
pembuahan. Dalam bahasa sederhana berarti ‘ibu
pengganti’ atau ‘ibu wali’. Dari sisi hukum,
perempuan penampung pembuahan dianggap ‘menyewakan’ rahimnya.
Sewa
rahim biasanya dilatarbelakangi oleh beberapa sebab, di antaranya adalah:
a.
Seorang perempuan atau seorang istri tidak mempunyai harapan
untuk mengandung secara normal karena memiliki penyakit atau kecacatan yang
dapat menghalanginya dari mengandung dan melahirkan anak.
b. Seorang perempuan tidak memiliki
rahim akibat tindakan operasi pembedahan rahim.
c. Perempuan tersebut ingin memiliki
anak tetapi tidak mau memikul beban kehamilan, melahirkan dan menyusukan anak
dan ingin menjaga kecantikan tubuh badannya.
d. Perempuan yang ingin memiliki anak
tetapi masa haidnya telah putus haid (menopause).
e. Perempuan yang menjadikan rahimnya
sebagai alat komoditi dalam mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan ekonominya.
2. Bentuk-bentuk Penyewaan Rahim.
a.
Benih isteri (ovum) disenyawakan dengan benih suami
(sperma), kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Kaedah ini
digunakan dalam keadaan isteri memiliki benih yang baik, tetapi rahimnya
dibuang karena pembedahan, kecacatan yang terus, akibat penyakit yang kronik
atau sebab-sebab yang lain.
b.
Sama dengan bentuk yang pertama, kecuali benih yang
telah disenyawakan dibekukan dan dimasukkan ke dalam rahim ibu tumpang
selepas kematian pasangan suami isteri itu.
c.
Ovum isteri disenyawakan dengan sperma lelaki lain (bukan
suaminya) dan dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini apabila
suami mandul dan isteri ada halangan atau kecacatan pada rahimnya tetapi benih
isteri dalam keadaan baik.
d.
Sperma suami disenyawakan dengan ovum wanita lain, kemudian
dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini berlaku apabila isteri
ditimpa penyakit pada ovarium dan rahimnya tidak mampu memikul tugas kehamilan,
atau isteri telah mencapai tahap putus haid (menopause).
e.
Sperma suami dan ovum isteri disenyawakan, kemudian
dimasukkan ke dalam rahim isteri yang lain dari suami yang sama. Dalam keadaan
ini isteri yang lain sanggup mengandungkan anak suaminya dari isteri yang tidak
boleh hamil.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Pandangan Hukum
Di Indonesia Tentang Surrogate Mother
1.
Sewa Rahim dalam Tinjauan Hukum Perdata
Sewa menyewa rahim pada prakteknya sangat berhubungan dengan
hukum perjanjian atau perikatan. Menurut pasal 1313 KUH Perdata,
perjanjian didefinisikan sebagai sesuatu perbuatan dimana seseorang atau
beberapa orang mengikatkan dirinya kepada seorang atau beberapa orang lain.
Dengan kata lain masing-masing orang yang mengadakan perjanjian mempunyai
keterikatan, mengikatkan diri pada sebuah perjanjian. Kemudian pada pasal
1233 KUH Perdata, perikatan ditegaskan sebagai sesuatu yang dilahirkan karena
perjanjian maupun undang-undang. Karena itu, berdasarkan kedua pasal
tersebut semua yang tercantum atau diperjanjikan merupakan undang-undang bagi
mereka dan termasuk kepada unsur perjanjian.
Selain itu, untuk mengetahui sahnya suatu perjanjian maka
persyaratan dari suatu perjanjian harus dipenuhi oleh para pihak. Dalam
pasal 1320 syarat sahnya suatu perjanjian meliputi bebarapa hal antara lain:
a.
Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.
b. Kecakapan untuk membuat suatu
perikatan.
c. Suatu pokok persoalan tertentu.
d. Suatu sebab yang tidak terlarang.
Menurut
Desriza Ratman, perjanjian pada praktik surrogate mother dianggap
tidak sah jika tidak memenuhi salah satu persyaratan tersebut, antara lain
persyaratan tentang adanya sebab yang halal. Surrogate mother dinyatakan
tidak sah dengan alasan tersebut dengan dalil sebagai berikut:
a. Melanggar peraturan
perundang-undangan yang ada (hukum positif):
1)
UU RI Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 127 ayat
(1) yang berbunyi: upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan
oleh pasangan suami-istri yang sah dengan ketentuan:
a)
Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang
bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
b)
Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu;
c)
Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
2)
Permenkes RI No.73/Menkes/PER/II/1999 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan.
a)
Pasal 4 : Pelayanan teknologi reproduksi buatan hanya dapat
diberikan kepada pasangan suami isteri yang terikat perkawinan yang sah dan
sebagai upaya akhir untuk memperoleh keturunan serta berdasarkan pada suatu
indikasi medik.
b)
Pasal 10 :
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenakan tindakan administratif.
(2) Tindakan administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat berupa peringatan sampai dengan pencabutan izin
penyelenggaraan pelayanan teknologi reproduksi buatan.
3)
SK Dirjen Yan Medik Depkes RI tahun 2000 tentang Pedoman
Pelayanan Bayi Tabung di RS, terdapat 10 pedoman:
a)
Pelayanan teknologi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel
telur dan sperma suami istri yang bersangkutan; (pedoman no.1)
b)
Pelayanan reproduksi buatan merupakan bagian dari pelayanan
infertilitas sehingga kerangka pelayanan merupakan bagian dari pengelolaan
pelayanan infertilitas secara keseluruhan; (pedoman no.2)
c)
Dilarang melakukan surrogacy dalam bentuk
apapun; (pedoman no.4)
b. Bertentangan dengan kesusilaan:
1)
Tidak sesuai dengan norma moral dan adat istiadat atau
kebiasaan umumnya masyarakat Indonesia atau di lingkungannya.
2)
Bertentangan dengan kepercayaan yang dianut salah satu
agama (Islam) karena terdapat unsur pokok yang mengharamkan praktik surrogate
mother, yaitu unsur zina.
c. Bertentangan dengan ketertiban umum:
1) Akan menjadi pergunjingan di dalam
masyarakat sehingga wanita surrogate besar kemungkinan akan
dikucilkan dari pergaulan.
2) Terlebih lagi bila status dari
wanita surrogate mother adalah gadis atau janda.
Point 1, 2 dan 3 diperkuat
dengan pasal 1339 KUH Perdata, yang berbunyi “perjanjian-perjanjian
tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan sengaja tegas dinyatakan di
dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian,
diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang” sehingga
pasal ini menyatakan bahwa dalam menentukan suatu perjanjian, para pihak tidak
hanya terikat terhadap apa yang secara tegas disetujui dalam perjanjian
tersebut, tetapi juga terikat oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
d. Bertentangan juga terhadap
pokok-pokok perjanjian atau perikatannya itu sendiri, di mana rahim itu
bukanlah suatu benda (hukum kebendaan) dan tidak dapat disewakan (hukum
sewa-menyewa) yang terdapat pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Pakar hukum Universitas Indonesia
(UI) Rudi Satrio mengatakan anak hasil bayi tabung merupakan anak sah. Namun
jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka
secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan
pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250
KUH Perdata.
2.
Pandangan Islam
Tentang Surrogate Mother
Perdebatan di seputar sewa menyewa rahim atau ibu pengganti
menjadi perdebatan panjang di kalangan masyarakat, baik muslim maupun non
muslim. Hal ini antara lain disebabkan karena hukum bayi tabung, tidak
ada pembahasannya dalam nash maupun kitab-kitab klasik. Dalam masyarakat Islam
sehubungan dengan permasalahan ini, ada dua kelompok yang memiliki perbedaan
pendapat yaitu kelompok yang mendukung atau membolehkan serta kelompok yang
menolak atau mengharamkan. Di antara pendapat-pendapat tersebut antara lain
adalah :
a. Pendapat yang menolak atau
mengharamkan yaitu :
Asy-Syaikh ‘Ali At-Thantawi
menyatakan bahwa bayi tabung yang menggunakan wanita pengganti itu jelas tidak
dibenarkan, karena menurut beliau rahim wanita bukanlah panci dapur yang isinya
bisa dipindahkan sekehendak hati dari yang satu ke yang lainnya, karena rahim
wanita yang mengandung memiliki andil dalam proses pembentukan dan penumbuhan
janin yang mengkonsumsi zat makanan dari darah ibunya.
Pendapat lain ada yang mengatakan kalau
inseminasi buatan itu dilakukan dengan sperma dan atau ovum atau dengan ibu
titipan, maka diharamkan dan hukumnya sama dengan zina. Dan sebagai akibat
hukumnya, anak hasil inseminasi buatan tersebut tidak sah dan nasabnya atau
hubungan perdatanya hanya dengan ibu yang melahirkan dan keluarga si ibu itu.
b. Pendapat yang membolehkan
penggunaan sewa rahim, yakni:
Ali Akbar menyatakan bahwa :
menitipkan bayi tabung pada wanita yang bukan ibunya boleh, karena si ibu tidak
menghamilkannya, sebab rahimnya mengalami gangguan, sedangkan menyusukan anak
wanita lain dibolehkan dalam Islam, malah boleh diupahkan. Maka boleh pulalah
memberikan upah kepada wanita yang meminjamkan rahimnya.
Selain perdebatan di masyarakat umum, ada pula perdebatan di
kalangan ulama yang mempersoalkan siapa sesungguhnya ibu yang paling berhak
atas pengakuan terhadap si anak. Radin Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi
dalam sebuah makalah yang berjudul Penyewaan Rahim Menurut Hukum Islam,
mengenai penentuan nasab anak terhadap ibu yang sebenarnya menyatakan:
Pendapat pertama :
Termasuk golongan ini antaranya, Dr. Muhammad Na’im Yasin,
Dr. Abdul Hafiz Hilmi, Dr. Mustafa Al-Zarqa, Dr. Zakaria Al-Bari, Dr. Muhammad
As-Surtowi Dekan Fakultas Syariah University Jordan dan lain-lain. Mereka
berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada si ibu pemilik benih, manakala ibu
yang mengandung dan melahirkan itu seumpama ibu susuan yang tidak dinasabkan
anak padanya, sekedar dikuatkan atas hukum penyusuan. Pendapat ini dibina
di atas asas bahwa perseyawaan benih di antara benih suami istri yang diikat
oleh ikatan perkawinan yang sah, maka janin itu dinasabkan kepada mereka.
Manakala ibu tumpang tersebut berfungsi sebagai ibu susuan karena ibu susuan
memberi minum susunya, lebih-lebih lagi ibu tumpang dimana anak tersebut
mendapat makanan dari darahnya sejak awal pembentukan hingga sempurna kejadian
sebagai seorang bayi dan lahir. Oleh karena itu, ibu tumpang tersebut
dihukumkan sebagai ibu susuan.
Di samping itu, ciri-ciri diri manusia dan sifat yang
diwarisinya ditentukan oleh mani dan benih ibu bapaknya, bukan ibu yang mengandung
dan melahirkannya, karena ibu tumpang hanya tempat bergantung dan numpang
membesar.
Pendapat kedua :
Menurut sebagian besar para ulama’ dan pengkaji di antaranya
Sheikh Abdullah bin Zaid Ali Mahmud, Dr. Muhammad Yusuf Al-Muhammadi, Sheikh
Muhammad Al-Khudri, Qadi Mahkamah Agung di Riyadh dan lain-lain. Mereka
berpendapat bahwa ibu sebenarnya adalah seseorang yang mengandungkan bayi dan
melahirkannya, manakala ibu pemilik benih itu seumpama ibu susuan. Mereka
berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya karena nasab
anak ditentukan berdasarkan tiga perkara yaitu wanita yang melahirkannya,
pengakuan suami, dan saksi. Tiga hal itu, menjadikan seorang ibu yang
melahirkan anak tersebut akan dapat mewarisi harta, dan anak itu dinasabkan
kepada suaminya, kerana (anak adalah untuk suami) berdasarkan kaedah syara’
yang diambil dari hadis Rasulullah saw.
MUI memberikan fatwa dalam masalah bayi tabung atau sewa
rahim ini (hasil komisi fatwa tanggal 13 Juni 1979), yang menyatakan bahwa
Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia memfatwakan sebagai berikut :
1. Bayi tabung dengan sperma dan ovum
dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh, berdasarkan kaidah
agama).
2. Bayi tabung dari pasangan
suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri kedua
dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd
az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya
dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang
mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya).
3. Bayi tabung dari sperma yang
dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram berdasarkan
kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik
dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal
kewarisan.
4. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya
diambil dari selain pasangan suami isteri yang sah hukumnya haram, karena itu
statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan
yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, yaitu untuk
menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya.
Sedangkan dalam buku masailul fiqhiyah karangan Mahyudin
dapat disimpulkan bahwa inseminasi buatan atau bayi tabung dan sejenisnya
tergolong zina dan menyulitkan penegakkan hukum Islam dalam masalah yang lain
dan berakibat :
1. Mengacaukan hukum Islam untuk
menentukan wali anak perempuan dari hasil inseminasi dan bayi tabung bila ia
dikawinkan.
2. Menyulitkan hukum Islam untuk
menentukan hak-hak anak tersebut dalam urusan perwarisan dsb.
Beberapa Fatwa ulama yang mengharamkan Surrogate Mother
1. fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah
وبعد دراسة اللجنة للاستفتاء أجابت
بأنه لا يجوز للأم المذكورة التبرع لابنتها برحمها؛ لما يترتب على ذلك من محاذير
شرعية
Setelah
Al-Lajnah mempelajari (prosedur meminjam rahim), maka AL-Lajnah memutuskan
bahwasanya tidak boleh (haram) bagi ibu tersebut meminjamkan rahimnya kepada
anak perempuannya. Karena akan muncul kerusakan dalam syariat
2. Fatwa
Profesor Abdullah Al-Jibrin rahimahullah
Kita katakan ini adalah sesuatu yang
baru dan mungkar, tidak ada ulama sebelumnya yang berbicara mengenai hal ini
dan tidak disebut oleh ulama dan imam-imam orang Islam bahwa hal ini boleh. Tidak
diragukan lagi bahwa hal ini “HARAM” alasan
yang pertama adalah karena perintah Allah Ta’ala agar menjaga
kemaluan sebagaimana firman Ta’ala,
“وَالَّذِينَ هُمْ
لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
“dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap
istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki ; maka sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada tercela.”(Al-Mukminun: 5-6)
3. Fatwa
Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyyah (Lembaga Riset dan Fatwa al-Azhar).
Adapun menyewakan rahim maka
hukumnya HARAM secara syariat. Fatwa Majma’ al-Buhuts Al-Islamiyyah telah
mengeluarkan keputusan nomor 1 tanggal 29 Maret 2001 yang mengharamkan
penyewaan rahim. Para ulama fikih kontemporer pun sepakat mengenai
keharamannya. Salah satu alasannya adalah karena tidak dapat dipastikan siapa
ibu yang sebenarnya bagi bayi itu disebabkan terdapat pihak ketiga (pemilik
rahim yang disewa). Sehingga timbul kerancuan tentang siapakah yang lebih
berhak menjadi ibu bayi itu, apakah wanita pemilik sel telur yang darinya
tercipta janin itu dan yang membawa seluruh sifat genitasnya, ataukah wanita
yang di dalam rahimnya seluruh proses perkembangan bayi itu berlangsung hingga
menjadi sosok yang sempurna?
Adanya perselisihan dan perdebatan yang besar seperti
ini bertentangan dengan tujuan dan maksud syariat Islam berupa menciptakan
kestabilan, ketentraman dan menghilangkan pertikaian atau membatasinya pada
skala sekecil mungkin
3.
Konsep
darurat dalam sewa rahim
Makna
darurat adalah sebuah kebutuhan yang sangat mendesak, dimana tidak mungkin
dihindari yang menyebabkan seseorang menerjang dan melanggar larangan syar’i
yang bersifat haram. Dan kalau keharaman itu tidak diterjang maka akan
menyebabkan sesuatu yang membahayakan dirinya .
Kemudian
para ulama’ memberikan persyaratan bagi seseorang bisa dikatakan dalam keadaan
darurat harus terdapat 5 syarat, syarat-syarat tersebut adalah;
a.
Kondisi bahaya besar itu
telah benar-benar terjadi atau belum terjadi, namun diyakini atau diprediksi
kuat akan terjadi.
b.
Tidak bisa dihilangkan
dengan cara yang halal.
c.
Ukuran melanggar larangan
saat kondisi terpaksa itu harus dilakukan sekadarnya saja.
d.
Waktu melanggar larangan
saat kondisi darurat ini tidak boleh melebihi waktu darurat tersebut.
e.
Melanggar sesuatu yang
terlarang dalam kondisi darurat tersebut tidak akan menimbulkan bahaya yang
lebih besar.
Dalam
prakteknya para ulama’ memberikan pengecualian pada kaidah ini, diantaranya
adalah:
Pertama, apabila
menghilangkan kemudlaratan itu mengakibatkan datangnya kemudlaratan yang lain
yang sama tingkatannya, maka hal ini tidak diperbolehkan melakukan kemudlaratan
tersebut. Seperti seseorang yang kelaparan mengambil makanan orang lain yang
juga dalam kelaparan, meskipun orang yang pertama juga kelaparan.
Kedua, apabila
dalam menghilangkan kemudlaratan menimbulkan kemudlaratan yang lain yang lebih
besar atau lebih tinggi tingkatannya, maka hal ini lebih tidak diperbolehkan.
Selain itu, dalam menghilangkan kemudlaratan, dilarang melampaui batas dan
betul-betul tidak ada jalan lain kecuali melakukan perbuatan yang dilarang
itulah satu-satunya jalan.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
1. Surrogate mother yang dalam bahasa Indonesia
dimaknai sebagai ibu pengganti atau sewa rahim, merupakan praktek penyewaan
rahim seorang perempuan yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian dengan
pihak lain (suami istri) dengan tujuan supaya dapat hamil dan melahirkan bayi
yang sebelumnya dilakukan persenyawaan sperma dan ovum antara suami istri, lalu
hasil persenyawaan tersebut dibenamkan ke dalam rahim perempuan tadi.
Praktek sewa rahim ini banyak diperdebatkan kelegalannya karena akibat yang
ditimbulkan disinyalir dapat membawa dampak negatif dalam masyarakat terutama
nasib dan nasab anak. Indikasi pelanggaran hak anak merupakan isu penting
dalam perdebatan sewa rahim ini. Hak anak yang seharusnya diberikan
menjadi tersingkirkan dengan ambisi-ambisi membabi buta orang dewasa. Anak disamarkan
nasabnya, anak dihilangkan hak warisnya serta anak disuramkan
asal-usulnya.
2. Indonesia belum ada pengaturan
khusus tentang surrogate mother ini, akan tetapi perundangan yang berlaku
dapat dimaknai sebagai jalan yang menolak adanya surrogate mother sekaligus memberikan kelonggaran diberlakunya surrogate
mother. Hal tersebut dapat dilihat dari UU Kesehatan No. 36 tahun
2009 pasal 127 dan Permenkes No. 73/Menkes/PER/II/1999 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan yang membolehkan pembuahan di luar rahim
walaupun terbatas untuk suami istri yang terikat perkawinan sah (lihat pasal
4).
3. Posisi sewa rahim di dunia masih
ramai diperdebatkan, banyak negara di dunia yang tidak setuju atau menolak
praktek sewa rahim ini, akan tetapi banyak juga negara yang membolehkan
sewa rahim ini misalnya India, Bangladesh, China ,Amerika, dll. Sementara
itu sewa rahim bagi kalangan Islam masih dianggap oleh sebagian besar ulama
sebagai tindakan yang dapat mengacaukan hukum Islam dalam menentukan wali anak
perempuan bila ia dikawinkan dan menyulitkan hukum Islam dalam menentukan
hak-hak anak tersebut dalam urusan perwarisan. Para Ulama sepakat
tentang pengharaman praktek sewa rahim dalam keadaan berikut :
menggunakan rahim wanita lain selain isteri, adanya tindakan percampuan zygote
antara suami dan wanita lain, adanya tindakan percampuan zygote dengan lelaki
yang bukan suaminya (orang lain), dan menanamkan zygote sesaat setelah suami
istri tersebut meninggal
4. Status anak
dari sewa rahim dengan menggunkan sperma dan ovum dari pasangan suami istri dan
kemudian di transplantasikan kedalam rahim ibu titipan adalah sama dengan zina.
Adapun status anak dari sewa rahim yang dilakukan dengan menggunkan sperma dan
ovum dari pasangan suami istri kemudian ditransplantasikan ke dalam rahim intri
yang lain dari suami yang sama maka sama dengan anak tiri, hal ini disebabkan
karena lahirian anak tersebut adalah milik ibu yang melahirkan, tetapi secara
hakiki, anak tersebut adalah anak yang mempunyai bibit.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Peradilan Agama Islam, Mimbar Hukum aktualisasi Hukum Islam,
(Jakarta: al Hikmah), 1995
Departemen
Agama R.I. Al-Quran danterjemahannya. Cet. 9;
Bandung: Diponegoro, 2009
Kitab
Undang-undang Hukum Perdata.
Nabaha, Radin Seri. Penyewaan
Rahim dalam Pandangan Islam –Terjemahan dari Al-Faqiroh Illallâh Shari’ah
Islamiyah Cairo : American Open University 2004
Ratman, Desriza. Surrogate Mother dalam
Perspektif Etika dan Hukum: Bolehkah Sewa
Rahim di Indonesia?. PT Elex Media Komputind, 2012
[skripsi] Sobari, Alwan. 2008. Sewa
Rahim Dalam Persfektif Islam (Sebuah Studi Eksploratif dan Analitis).
Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar