Jumat, 26 Februari 2016

makalah sewa rahim

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Allah menciptakan manusia di muka bumi ini bertujuan untuk menjadikannya sebagai khalifah agar mengurusi persoalan kehidupan di dunia. Oleh karenanya bersamaan dengan hal itu Allah SWT menciptakan manusia dengan berpasang-pasangan, dan menghasilkan keturunan yang banyak, sehingga merekalah yang nantinya akan hidup di muka bumi ini sebagai manusia-manusia yang mewarisi tugas untuk mengemban amanah tersebut.
Sudah menjadi fitrah manusia berkeinginan untuk memiliki keturunan pada saat setelah berlangsungnya pernikahan. Akan tetapi, masih banyak dari kalangan suami-istri yang menjumpai hambatan untuk memperoleh keturunan. Sehingga ada beberapa diantara mereka yang tidak dapat menghasilkan keturunan kemudian mengangkat seseorang untuk dijadikannya sebagai anak.
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, cara untuk memperoleh anak pun dengan mudah didapatkan dengan memanfaat teknologi yang telah berkembang di era globalisasi ini, maka ditempuhlah dengan jalan menggunakan bayi tabung dan dengan cara sewa rahim atau rental rahim atau surrogate mother.
Di Indonesia tentunya sudah tidak lazim lagi mendengar kata bayi tabung, bahkan prakteknya sudah dilakukan secara terbuka dan telah dilegalkan oleh pemerintah. Sedangkan untuk surrogate mother itu sendiri masih kita dapatkan pro dan kontra mengenai tata cara dan praktek dalam penggunannya.
B.     Rumusan Masalah
Bagaimana Pandangan hukum Islam tentang Surrogate Mother di Indonesia?
C.     Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui pandangan hukum positif di Indonesia tentang Surrogate Mother.
2.      Untuk mengetahui pandangan hukum islam tentang Surrogate Mother.

BAB II
LANDASAN TEORI

A.      Surrogate Mother
1.      Pengertian Surrogate Mother
Menurut istilah traditional surrogacy, ibu sewa mengandung  anaknya sendiri secara biologis, namun anak ini setelah lahir akan diberikan  pada orang tua lain yang akan mengangkatnya sebagai anak; baik  oleh ayah biologisnya sendiri, dan mungkin untuk mitranya (mitra ayah biologisnya), baik wanita maupun pria. Menurut istilah gestational surrogacy,  ibu  sewa mengandung  lewat transfer embrio dimana ia berarti bukan ibu si anak secara biologis. Ibu sewa tersebut bisa membuat kesepakatan dengan ibu atau ayah biologisnya untuk mengangkat anak yang akan dilahirkannya  sebagai anak mereka sendiri, atau dengan orang tua (pasangan  suami istri) yang bahkan  tidak memiliki hubungan apa-apa dengan si anak (misalnya, anak ini dikandung dengan cara transfer embrio yang diambil dari donor benih dan atau donor sperma).
Menurut istilah altruistic surrogacy, ibu sewa tidak menerima bayaran atas kehamilannya atau atas anak yang akan diserahkannya (namun terkadang untuk biaya medis selama masa hamil dan melahirkan ditanggung oleh calon orang tua yang akan mengasuh si bayi). Sedangkan commercial surrogacy sebaliknya, dimana si ibu sewa mendapatkan bayaran uang atas kehamilan dan atas anak yang akan ia serahkan pada orang tua angkatnya.
Kata surrogate berasal  dari  bahasa  latin subrogare (yang artinya menggantikan), yang berarti wanita yang  ditunjuk untuk  bertindak  sebagai  ibu  pengganti atau ibu sewa. Para orang tua angkat (yang menunjuk ibu sewa) adalah individu atau orang-orang yang akan membesarkan anak tersebut setelah dilahirkan. Ada kecenderungan sekarang ini untuk membatasi istilah ‘surrogacy’  hanya berarti “gestational surrogacy ”.
Di dalam bahasa Arab, sewa rahim dikenal dengan berbagai macam istilah di antaranya: al-‘ummu al-musta’jiral-ummu al-badilahal-musta’jiral-hadlanahsyatlul janinal-ummu al-kazibahar-rahmu al-musta’ar, atau ta’jirul arham. Tetapi sewa rahim lebih dikenal dengan istilah ar-rahmu al-musta’jir atau al-‘ummu al-badilah. Sedangkan di dalam bahasa Inggris, sewa rahim dikenal dengan istilah surrogate mother.
Menurut Ali ‘Arif, di dalam bukunya al-’Ummu al-Badlilah (ar-Rahmu al-Musta’jirah) sebagaimana dikutip oleh Radin Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi, sewa rahim adalah menggunakan rahim wanita lain untuk mengandungkan benih wanita (ovum) yang telah dibuahi dengan benih laki-laki (sperma), dan janin itu dikandung oleh wanita tersebut hingga lahir. Kemudian anak itu diberikan kembali kepada pasangan suami isteri tersebut untuk memeliharanya dan anak itu dianggap anak mereka dari sudut undang-undang.
Yahya Abdurrahman al-Khatib mendefinisikan sewa rahim adalah dua orang suami isteri yang membuat kesepakatan bersama wanita lain untuk menanamkan sel telur yang telah diinseminasi (dibuahi) dari wanita pertama dengan sperma suaminya pada rahim wanita kedua dengan upah yang telah disepakatinya. Selanjutnya, wanita kedua ini disebut :
a.       Al-’ummu al-musta‘ar (ibu pinjaman), yaitu wanita yang di dalam rahimnya dimasukkan sel telur yang telah diinseminasi (dibuahi). Ia juga disebut dengan mu’jirah al-bathni (wanita yang menyewakan perutnya).
b.      Ar-rahim az-zi’r. Secara etimologis az-zi’r adalah wanita yang belas kasih kepada anak orang lain dan yang menyusuinya, sama saja dari manusia atau unta. Sedangkan bentuk jamaknya adalah az’uraz’ar dan zu’ur. Yang dimaksud dengan ar-rahim az-zi’r di sini adalah bahwa sel telur itu diambil dari seorang wanita, sedang rahim yang mengandung  dan  yang melahirkan adalah wanita lain.
c.       Syatlu al-janin (penanaman janin), yaitu seorang suami mencampuri isterinya  yang tidak layak hamil, kemudian sperma itu dipindahkan dari isterinya ke dalam rahim wanita lain yang mempunyai suami  melalui metode kedokteran. Selanjutnya wanita inilah yang mengandungnya hingga melahirkan.
d.      Al-mudl’ifah (wanita pelayan), yaitu wanita lain dimana sel telur (ovum) yang telah diinseminasi (dibuahi) dipindahkan ke dalam rahimnya. Ia juga disebut dengan ummu bi al-wakalah (ibu perwakilan).

Sedangkan Said Agil Husin al-Munawar mendefinisikan sewa rahim adalah penitipan sperma dan ovum dari sepasang suami isteri ke dalam rahim wanita lain. Penyewaan rahim biasanya melalui perjanjian atau persyaratan tertentu dari kedua belah pihak, baik perjanjian tersebut berdasarkan rela sama rela (gratis), atau perjanjian itu berupa kontrak.
Dari beberapa pengertian yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa variabel suatu kasus bisa dikualifikasi sebagai praktek sewa rahim yaitu:
a.       Menjadikan rahim wanita lain (selain isteri) sebagai tempat untuk menitipkan atau membuahkan sperma dan ovum baik melalui teknik Fertilisasi in Vitro (FIV) maupun melalui teknik TandurAlih  GametIntraTuba (TAGIT)dan  janin  itu  dikandung  oleh  wanita tersebut hingga lahir.
b.      Penyewaan Rahim biasanya dilakukan melalui perjanjian atau persyaratan tertentu dari kedua belah pihak, baik perjanjian  tersebut berdasarkan rela sama rela (gratis), atau perjanjian itu berupa kontrak.
c.       Anak yang dihasilkan dari sewa rahim ini biasanya diserahkan kembali pada orang atau pasangan yang memesannya, dan anak itu dianggap anak mereka dari sudut Undang-Undang.
d.      Ibu sewa mendapatkan bayaran uang atas kehamilan dan atas anak yang akan ia serahkan pada orang atau pasangan yang memesannya.
Surrogate mother adalah perjanjian antara seorang wanita yang mengikatkan diri melalui suatu perjanjian dengan pihak lain (suami-isteri) untuk menjadi hamil terhadap hasil pembuahan suami isteri tersebut yang ditanamkan ke dalam rahimnya, dan setelah melahirkan diharuskan menyerahkan bayi tersebut kepada pihak suami isteri berdasarkan perjanjian yang dibuat.
Perjanjian ini lazim disebut gestational agreement. Intinya, surrogate mother adalah perempuan yang menampung pembuahan suami isteri dan diharapkan melahirkan anak hasil pembuahan. Dalam bahasa sederhana berarti ‘ibu pengganti’ atau ‘ibu wali. Dari sisi hukum, perempuan penampung pembuahan dianggap ‘menyewakan’ rahimnya.

Sewa rahim biasanya dilatarbelakangi oleh beberapa sebab, di antaranya adalah:
a.       Seorang perempuan atau seorang istri tidak mempunyai harapan untuk mengandung secara normal karena memiliki penyakit atau kecacatan yang dapat menghalanginya dari mengandung dan melahirkan anak.
b.       Seorang perempuan tidak memiliki rahim akibat tindakan operasi pembedahan rahim.
c.       Perempuan tersebut ingin memiliki anak tetapi tidak mau memikul beban kehamilan, melahirkan dan menyusukan anak dan ingin menjaga kecantikan tubuh badannya.
d.      Perempuan yang ingin memiliki anak tetapi masa haidnya telah putus haid (menopause).
e.       Perempuan yang menjadikan rahimnya sebagai alat komoditi dalam mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan ekonominya.

2.      Bentuk-bentuk Penyewaan Rahim.
a.       Benih isteri (ovum) disenyawakan dengan benih suami (sperma), kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain.  Kaedah ini digunakan dalam keadaan isteri memiliki benih yang baik, tetapi rahimnya dibuang karena pembedahan, kecacatan yang terus, akibat penyakit yang kronik atau sebab-sebab yang lain.
b.       Sama dengan bentuk yang pertama, kecuali benih yang telah disenyawakan  dibekukan dan dimasukkan ke dalam rahim ibu tumpang selepas kematian pasangan suami isteri itu.
c.       Ovum isteri disenyawakan dengan sperma lelaki lain (bukan suaminya) dan dimasukkan ke dalam rahim wanita lain.  Keadaan ini apabila suami mandul dan isteri ada halangan atau kecacatan pada rahimnya tetapi benih isteri dalam keadaan baik.
d.      Sperma suami disenyawakan dengan ovum wanita lain, kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain.  Keadaan ini berlaku apabila isteri ditimpa penyakit pada ovarium dan rahimnya tidak mampu memikul tugas kehamilan, atau isteri telah mencapai tahap putus haid (menopause).
e.        Sperma suami dan ovum isteri disenyawakan, kemudian dimasukkan ke dalam rahim isteri yang lain dari suami yang sama. Dalam keadaan ini isteri yang lain sanggup mengandungkan anak suaminya dari isteri yang tidak boleh hamil.




















BAB III
PEMBAHASAN

A.    Pandangan Hukum Di Indonesia Tentang Surrogate Mother
1.      Sewa Rahim dalam Tinjauan Hukum Perdata
Sewa menyewa rahim pada prakteknya sangat berhubungan dengan hukum perjanjian atau perikatan.  Menurut pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian didefinisikan sebagai sesuatu perbuatan dimana seseorang atau beberapa orang mengikatkan dirinya kepada seorang atau beberapa orang lain.  Dengan kata lain masing-masing orang yang mengadakan perjanjian mempunyai keterikatan, mengikatkan diri pada sebuah perjanjian.  Kemudian pada pasal 1233 KUH Perdata, perikatan ditegaskan sebagai sesuatu yang dilahirkan karena perjanjian maupun undang-undang.  Karena itu, berdasarkan kedua pasal tersebut semua yang tercantum atau diperjanjikan merupakan undang-undang bagi mereka dan termasuk kepada unsur perjanjian.
Selain itu, untuk mengetahui sahnya suatu perjanjian maka persyaratan dari suatu perjanjian harus dipenuhi oleh para pihak.  Dalam pasal 1320 syarat sahnya suatu perjanjian meliputi bebarapa hal antara lain:
a.       Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.
b.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
c.       Suatu pokok persoalan tertentu.
d.      Suatu sebab yang tidak terlarang.
Menurut Desriza Ratman, perjanjian pada praktik surrogate mother dianggap tidak sah jika tidak memenuhi salah satu persyaratan tersebut, antara lain persyaratan tentang adanya sebab yang halal.  Surrogate mother dinyatakan tidak sah dengan alasan tersebut dengan dalil sebagai berikut:
a.       Melanggar peraturan perundang-undangan yang ada (hukum positif):
1)      UU RI Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 127 ayat (1) yang berbunyi: upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami-istri yang sah dengan ketentuan:
a)      Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
b)      Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
c)      Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
2)      Permenkes RI No.73/Menkes/PER/II/1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan.
a)      Pasal 4 : Pelayanan teknologi reproduksi buatan hanya dapat diberikan kepada pasangan suami isteri yang terikat perkawinan yang sah dan sebagai upaya akhir untuk memperoleh keturunan serta berdasarkan pada suatu indikasi medik.
b)      Pasal 10 :
(1)  Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenakan tindakan administratif.
(2)    Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa peringatan sampai dengan pencabutan izin penyelenggaraan pelayanan teknologi reproduksi buatan.
3)      SK Dirjen Yan Medik Depkes RI tahun 2000 tentang Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di RS, terdapat 10 pedoman:
a)      Pelayanan teknologi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel telur dan sperma suami istri yang bersangkutan; (pedoman no.1)
b)      Pelayanan reproduksi buatan merupakan bagian dari pelayanan infertilitas sehingga kerangka pelayanan merupakan bagian dari pengelolaan pelayanan infertilitas secara keseluruhan; (pedoman no.2)
c)      Dilarang melakukan surrogacy dalam bentuk apapun; (pedoman no.4)



b.      Bertentangan dengan kesusilaan:
1)      Tidak sesuai dengan norma moral dan adat istiadat atau kebiasaan umumnya masyarakat Indonesia atau di lingkungannya.
2)       Bertentangan dengan kepercayaan yang dianut salah satu agama (Islam) karena terdapat unsur pokok yang mengharamkan praktik surrogate mother, yaitu unsur zina.
c.       Bertentangan dengan ketertiban umum:
1)      Akan menjadi pergunjingan di dalam masyarakat sehingga wanita surrogate besar kemungkinan akan dikucilkan dari pergaulan.
2)      Terlebih lagi bila status dari wanita surrogate mother adalah gadis atau janda.
Point 1, 2 dan 3 diperkuat dengan pasal 1339 KUH Perdata, yang berbunyi “perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan sengaja tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang” sehingga pasal ini menyatakan bahwa dalam menentukan suatu perjanjian, para pihak tidak hanya terikat terhadap apa yang secara tegas disetujui dalam perjanjian tersebut, tetapi juga terikat oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.

d.       Bertentangan juga terhadap pokok-pokok perjanjian atau perikatannya itu sendiri, di mana rahim itu bukanlah suatu benda (hukum kebendaan) dan tidak dapat disewakan (hukum sewa-menyewa) yang terdapat pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Pakar hukum Universitas Indonesia (UI) Rudi Satrio mengatakan anak hasil bayi tabung merupakan anak sah. Namun jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata.

2.      Pandangan Islam Tentang Surrogate Mother
Perdebatan di seputar sewa menyewa rahim atau ibu pengganti menjadi perdebatan panjang di kalangan masyarakat, baik muslim maupun non muslim.  Hal ini antara lain disebabkan karena hukum bayi tabung, tidak ada pembahasannya dalam nash maupun kitab-kitab klasik. Dalam masyarakat Islam sehubungan dengan permasalahan ini, ada dua kelompok yang memiliki perbedaan pendapat yaitu kelompok yang mendukung atau membolehkan serta kelompok yang menolak atau mengharamkan.  Di antara pendapat-pendapat tersebut antara lain adalah :
a.       Pendapat yang menolak atau mengharamkan yaitu :
Asy-Syaikh ‘Ali At-Thantawi menyatakan bahwa bayi tabung yang menggunakan wanita pengganti itu jelas tidak dibenarkan, karena menurut beliau rahim wanita bukanlah panci dapur yang isinya bisa dipindahkan sekehendak hati dari yang satu ke yang lainnya, karena rahim wanita yang mengandung memiliki andil dalam proses pembentukan dan penumbuhan janin yang mengkonsumsi zat makanan dari darah ibunya.
Pendapat lain ada yang mengatakan kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan sperma dan atau ovum atau dengan ibu titipan, maka diharamkan dan hukumnya sama dengan zina. Dan sebagai akibat hukumnya, anak hasil inseminasi buatan tersebut tidak sah dan nasabnya atau hubungan perdatanya hanya dengan ibu yang melahirkan dan keluarga si ibu itu.
b.       Pendapat yang membolehkan penggunaan sewa rahim, yakni:
Ali Akbar menyatakan bahwa : menitipkan bayi tabung pada wanita yang bukan ibunya boleh, karena si ibu tidak menghamilkannya, sebab rahimnya mengalami gangguan, sedangkan menyusukan anak wanita lain dibolehkan dalam Islam, malah boleh diupahkan. Maka boleh pulalah memberikan upah kepada wanita yang meminjamkan rahimnya.


Selain perdebatan di masyarakat umum, ada pula perdebatan di kalangan ulama yang mempersoalkan siapa sesungguhnya ibu yang paling berhak atas pengakuan terhadap si anak.  Radin Seri Nabahah bt. Ahmad Zabidi dalam sebuah makalah yang berjudul Penyewaan Rahim Menurut Hukum Islam, mengenai penentuan nasab anak terhadap ibu yang sebenarnya menyatakan:

Pendapat pertama :
Termasuk golongan ini antaranya, Dr. Muhammad Na’im Yasin, Dr. Abdul Hafiz Hilmi, Dr. Mustafa Al-Zarqa, Dr. Zakaria Al-Bari, Dr. Muhammad As-Surtowi Dekan Fakultas Syariah University Jordan dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada si ibu pemilik benih, manakala ibu yang mengandung dan melahirkan itu seumpama ibu susuan yang tidak dinasabkan anak padanya, sekedar dikuatkan atas hukum penyusuan.  Pendapat ini dibina di atas asas bahwa perseyawaan benih di antara benih suami istri yang diikat oleh ikatan perkawinan yang sah, maka janin itu dinasabkan kepada mereka.  Manakala ibu tumpang tersebut berfungsi sebagai ibu susuan karena ibu susuan memberi minum susunya, lebih-lebih lagi ibu tumpang dimana anak tersebut mendapat makanan dari darahnya sejak awal pembentukan hingga sempurna kejadian sebagai seorang bayi dan lahir. Oleh karena itu, ibu tumpang tersebut dihukumkan sebagai ibu susuan.
Di samping itu, ciri-ciri diri manusia dan sifat yang diwarisinya ditentukan oleh mani dan benih ibu bapaknya, bukan ibu yang mengandung dan melahirkannya, karena ibu tumpang hanya tempat bergantung dan numpang membesar.

Pendapat kedua :
Menurut sebagian besar para ulama’ dan pengkaji di antaranya Sheikh Abdullah bin Zaid Ali Mahmud, Dr. Muhammad Yusuf Al-Muhammadi, Sheikh Muhammad Al-Khudri, Qadi Mahkamah Agung di Riyadh dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa ibu sebenarnya adalah seseorang yang mengandungkan bayi dan melahirkannya, manakala ibu pemilik benih itu seumpama ibu susuan. Mereka berpendapat bahwa anak dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya karena nasab anak ditentukan berdasarkan tiga perkara yaitu wanita yang melahirkannya, pengakuan suami, dan saksi. Tiga hal itu, menjadikan seorang ibu yang melahirkan anak tersebut akan dapat mewarisi harta, dan anak itu dinasabkan kepada suaminya, kerana (anak adalah untuk suami) berdasarkan kaedah syara’ yang diambil dari hadis Rasulullah saw.

MUI memberikan fatwa dalam masalah bayi tabung atau sewa rahim ini (hasil komisi fatwa tanggal 13 Juni 1979), yang menyatakan bahwa Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia memfatwakan sebagai berikut : 
1.      Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh, berdasarkan kaidah agama).
2.      Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya).
3.      Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan.
4.      Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami isteri yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya. 

Sedangkan dalam buku masailul fiqhiyah karangan Mahyudin dapat disimpulkan bahwa inseminasi buatan atau bayi tabung dan sejenisnya tergolong zina dan menyulitkan penegakkan hukum Islam dalam masalah yang lain dan berakibat :
1.      Mengacaukan  hukum Islam untuk menentukan wali anak perempuan dari hasil inseminasi dan bayi tabung bila ia dikawinkan.
2.      Menyulitkan hukum Islam untuk menentukan hak-hak anak tersebut dalam urusan perwarisan dsb.

Beberapa Fatwa ulama yang mengharamkan Surrogate Mother
1.      fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah
وبعد دراسة اللجنة للاستفتاء أجابت بأنه لا يجوز للأم المذكورة التبرع لابنتها برحمها؛ لما يترتب على ذلك من محاذير شرعية
Setelah Al-Lajnah mempelajari (prosedur meminjam rahim), maka AL-Lajnah memutuskan bahwasanya tidak boleh (haram) bagi ibu tersebut meminjamkan rahimnya kepada anak perempuannya. Karena akan muncul kerusakan dalam syariat
2.      Fatwa Profesor Abdullah Al-Jibrin rahimahullah
Kita katakan ini adalah sesuatu yang baru dan mungkar, tidak ada ulama sebelumnya yang berbicara mengenai hal ini dan tidak disebut oleh ulama dan imam-imam orang Islam bahwa hal ini boleh. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini HARAM alasan yang pertama adalah karena perintah Allah Ta’ala agar menjaga kemaluan sebagaimana firman Ta’ala,
“وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
“dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki ; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.”(Al-Mukminun: 5-6)
3.      Fatwa Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyyah (Lembaga Riset dan Fatwa al-Azhar).
Adapun menyewakan rahim maka hukumnya HARAM secara syariat.  Fatwa Majma’ al-Buhuts Al-Islamiyyah telah mengeluarkan keputusan nomor 1 tanggal 29 Maret 2001 yang mengharamkan penyewaan rahim. Para ulama fikih kontemporer pun sepakat mengenai keharamannya. Salah satu alasannya adalah karena tidak dapat dipastikan siapa ibu yang sebenarnya bagi bayi itu disebabkan terdapat pihak ketiga (pemilik rahim yang disewa). Sehingga timbul kerancuan tentang siapakah yang lebih berhak menjadi ibu bayi itu, apakah wanita pemilik sel telur yang darinya tercipta janin itu dan yang membawa seluruh sifat genitasnya, ataukah wanita yang di dalam rahimnya seluruh proses perkembangan bayi itu berlangsung hingga menjadi sosok yang sempurna?
Adanya perselisihan dan perdebatan yang besar  seperti ini bertentangan dengan tujuan dan maksud syariat Islam berupa menciptakan kestabilan, ketentraman dan menghilangkan pertikaian atau membatasinya pada skala sekecil mungkin

3.       Konsep darurat dalam sewa rahim
Makna darurat adalah sebuah kebutuhan yang sangat mendesak, dimana tidak mungkin dihindari yang menyebabkan seseorang menerjang dan melanggar larangan syar’i yang bersifat haram. Dan kalau keharaman itu tidak diterjang maka akan menyebabkan sesuatu yang membahayakan dirinya .
Kemudian para ulama’ memberikan persyaratan bagi seseorang bisa dikatakan dalam keadaan darurat harus terdapat 5 syarat, syarat-syarat tersebut adalah;
a.         Kondisi bahaya besar itu telah benar-benar terjadi atau belum terjadi, namun diyakini atau diprediksi kuat akan terjadi.
b.         Tidak bisa dihilangkan dengan cara yang halal.
c.         Ukuran melanggar larangan saat kondisi terpaksa itu harus dilakukan sekadarnya saja.
d.        Waktu melanggar larangan saat kondisi darurat ini tidak boleh melebihi waktu darurat tersebut.
e.         Melanggar sesuatu yang terlarang dalam kondisi darurat tersebut tidak akan menimbulkan bahaya yang lebih besar.
Dalam prakteknya para ulama’ memberikan pengecualian pada kaidah ini, diantaranya adalah:
Pertama, apabila menghilangkan kemudlaratan itu mengakibatkan datangnya kemudlaratan yang lain yang sama tingkatannya, maka hal ini tidak diperbolehkan melakukan kemudlaratan tersebut. Seperti seseorang yang kelaparan mengambil makanan orang lain yang juga dalam  kelaparan, meskipun orang yang pertama juga kelaparan.
Kedua, apabila dalam menghilangkan kemudlaratan menimbulkan kemudlaratan yang lain yang lebih besar atau lebih tinggi tingkatannya, maka hal ini lebih tidak diperbolehkan. Selain itu, dalam menghilangkan kemudlaratan, dilarang melampaui batas dan betul-betul tidak ada jalan lain kecuali melakukan perbuatan yang dilarang itulah satu-satunya jalan.















BAB IV
PENUTUP

A.      Simpulan
1.      Surrogate mother yang dalam bahasa Indonesia dimaknai sebagai ibu pengganti atau sewa rahim, merupakan praktek penyewaan rahim seorang perempuan yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian dengan pihak lain (suami istri) dengan tujuan supaya dapat hamil dan melahirkan bayi yang sebelumnya dilakukan persenyawaan sperma dan ovum antara suami istri, lalu hasil persenyawaan tersebut dibenamkan ke dalam rahim perempuan tadi.  Praktek sewa rahim ini banyak diperdebatkan kelegalannya karena akibat yang ditimbulkan disinyalir dapat membawa dampak negatif dalam masyarakat terutama nasib dan nasab anak.  Indikasi pelanggaran hak anak merupakan isu penting dalam perdebatan sewa rahim ini.  Hak anak yang seharusnya diberikan menjadi tersingkirkan dengan ambisi-ambisi membabi buta orang dewasa. Anak disamarkan nasabnya, anak dihilangkan hak warisnya serta anak disuramkan asal-usulnya. 
2.      Indonesia belum ada pengaturan khusus tentang surrogate mother ini, akan tetapi perundangan yang berlaku dapat dimaknai sebagai jalan yang menolak adanya surrogate mother sekaligus memberikan kelonggaran diberlakunya surrogate mother.  Hal tersebut dapat dilihat dari UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 127 dan Permenkes No. 73/Menkes/PER/II/1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan yang membolehkan pembuahan di luar rahim walaupun terbatas untuk suami istri yang terikat perkawinan sah (lihat pasal 4). 
3.      Posisi sewa rahim di dunia masih ramai diperdebatkan, banyak negara di dunia yang tidak setuju atau menolak praktek sewa rahim ini, akan tetapi  banyak juga negara yang membolehkan sewa rahim ini misalnya India, Bangladesh, China ,Amerika, dll.  Sementara itu sewa rahim bagi kalangan Islam masih dianggap oleh sebagian besar ulama sebagai tindakan yang dapat mengacaukan hukum Islam dalam menentukan wali anak perempuan bila ia dikawinkan dan menyulitkan hukum Islam dalam menentukan hak-hak anak tersebut dalam urusan perwarisan. Para Ulama sepakat tentang pengharaman praktek  sewa rahim dalam keadaan berikut : menggunakan rahim wanita lain selain isteri, adanya tindakan percampuan zygote antara suami dan wanita lain, adanya tindakan percampuan zygote dengan lelaki yang bukan suaminya (orang lain), dan menanamkan zygote sesaat setelah suami istri tersebut meninggal
4.      Status anak dari sewa rahim dengan menggunkan sperma dan ovum dari pasangan suami istri dan kemudian di transplantasikan kedalam rahim ibu titipan adalah sama dengan zina. Adapun status anak dari sewa rahim yang dilakukan dengan menggunkan sperma dan ovum dari pasangan suami istri kemudian ditransplantasikan ke dalam rahim intri yang lain dari suami yang sama maka sama dengan anak tiri, hal ini disebabkan karena lahirian anak tersebut adalah milik ibu yang melahirkan, tetapi secara hakiki, anak tersebut adalah anak yang mempunyai bibit.














DAFTAR PUSTAKA


Badan Peradilan Agama Islam, Mimbar Hukum aktualisasi Hukum Islam, (Jakarta: al Hikmah), 1995
Departemen Agama R.I. Al-Quran danterjemahannya. Cet. 9; Bandung:   Diponegoro, 2009
Kitab Undang-undang Hukum  Perdata.
Nabaha, Radin Seri. Penyewaan Rahim dalam Pandangan Islam –Terjemahan dari Al-Faqiroh Illallâh Shari’ah Islamiyah Cairo : American Open University  2004
Ratman, DesrizaSurrogate Mother dalam Perspektif  Etika dan Hukum: Bolehkah Sewa Rahim  di Indonesia?PT Elex Media Komputind, 2012
[skripsi] Sobari, Alwan. 2008. Sewa Rahim Dalam Persfektif Islam (Sebuah Studi Eksploratif dan Analitis). Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar